Kamis, 24 Februari 2011

Perjalanan ke Timika

Selasa, 14 Desember 2010 aku dan tim peneliti memulai perjalanan gratis ke provinsi paling timur di Indonesia, yang sangat terkenal dengan Kasuari, Cendrawasih atau mungkin malah tambang emasnya yang lebih populer. Perjalanan ini ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan yang mendanai penelitian kami di Papua. Sehingga kami juga harus menggunakan penerbangan khusus yang disediakan oleh perusahaan, dan akhirnya aku tau bahwa untuk mengikuti penerbangan khusus itu harus menjalani pemeriksaan lebay dan berulang.


Timika
Tujuan kami adalah kota Timika, untuk sampai kesana, pesawat harus transit di Makassar. Perbedaan waktu disini lebih cepat 1 jam dari Surabaya. Penerbangan Mks-Tim ditempuh kurang lebih 2,5 jam. Saat itu matahari sudah sangat terik, hutan belantara hijau yang tidak bercelah seperti broccoli berjajar terbentang luas, dihiasi sungai-sungai besar menyambut proses landingku di bandara Mozes Kilangin. Aku masih sangat lelah dan mengantuk, jam di tangan masih menunjukkan angka 5:03, sepertinya aku dilanda jetlag.
Di pusat kota Timika, yang merupakan ibukota kabupaten Mimika termasuk cukup ramai oleh orang rambut lurus (sebutan penduduk lokal untuk para pendatang) yang sebagian besar terdiri dari BBM (Buton, Bugis, Makassar), sisanya adalah Maluku, Jawa dll. Perbandingan pendatang dengan pribumi sekitar 6:4. Umumnya para pendatang ini membuka usaha seperti toko, salon, penginapan dll. Sementara penduduk lokal/pribumi di Timika biasanya bertujuan ke pasar untuk menjual/membeli kebutuhannya, beribadah, mengantar anak ke sekolah, berobat, kerja, mengunjungi keluarga, dll.

Suasana Kota Timika (1)


Suasana Kota Timika (2)

Suasana Kota Timika (3)

Suasana Kota Timika (4)

Suasana Kota Timika (5)

Suku
Sebagian besar penduduk lokal bertempat tinggal di pesisir sungai atau di lembah pegunungan. Terdapat 2 suku besar yang tersebar di kabupaten Mimika, yaitu suku Kamoro dan suku Amungme. Suku Kamoro banyak ditemui di sepanjang pesisir Agats – Jita (bagian selatan Timika). Sementara suku Amungme banyak ditemui di sebelah selatan pegunungan Sudirman. Suku-suku lainnya yang tinggal di area kabupaten Mimika diantaranya adalah suku Asmat, Sempan, Nafaripi, Fak Fak dan Ayamaru. Penduduk lokal tersebut biasanya berprofesi sebagai nelayan, petani, menokok sagu, berburu, mengumpulkan kayu bakar, bekerja di pelabuhan (TKBM), dll.

Kebudayaan
Perbincanganku dengan seorang anthropologist yang termasuk dalam tim peneliti kami tentang kebudayaan lokal masyarakat Kamoro dan Amungme, menurutku sangat menarik untuk diulas. Suku Kamoro dan Amungme memiliki kekayaan budaya leluhur yang masih terjaga hingga saat ini, diantaranya pandangan/prinsip hidup yang disebut Ndaita yaitu:
1.       Imi-imi yaitu rasa memiliki dan perasaan senasib
2.       Kaukapaiti yaitu suatu tanggung jawab pihak laki-laki kepada keluarga istri
3.       Nawarepoka yaitu memberi imbalan, masyarakat menganggap bahwa tidak ada yang gratis
4.       We-Iwaoto yaitu rasa sayang, terutama kepada pihak yang mengalami kesulitan (rasa iba)
5.       Taparuisme yaitu perasaan ego terhadap golongan


Kaukapaiti juga biasa diartikan sebagai budaya malu, yaitu malu jika tidak menjalankan tanggung jawab, malu jika melakukan perbuatan tidak baik, dll. Selain itu masyarakat lokal juga mengenal Sasi yang berarti suatu larangan untuk mengambil tumbuhan tertentu selama jangka waku tertentu. Sehingga masyarakat lokal sangat menjaga kelestarian hutannya. Hal tersebut terkait dengan “Mitos Keharmonisan” yang dipercaya oleh masyarakat Amungme, yaitu:
1.       Menjaga keharmonisan antara sesama manusia
2.       Menjaga keharmonisan antara manusia dengan Tuhan
3.       Menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungan


Tiang Leluhur Kamoro
Kearifan lokal tersebut terrefleksi pada kesenian, seperti seni ukir, seni suara, seni tari, dll. Sayangnya aku belum berkesempatan untuk meninjau langsung bagaimana kehidupan penduduk lokal di pedalaman. Dengan tidak mengurangi semangatku akan budaya lokal, alhasil aku mengambil gambar salah 1 seni ukir suku Kamoro yang terdapat di hotel dimana tim peneliti bermalam.

Tiang leluhur Kamoro, merupakan salah satu kesenian tradisional masyarakat Kamoro. Disebut juga sebagai ukiran Biro Kamoro sebagai penghormatan kepada arwah leluhur pada saat upacara Karapao (pendewasaan anak laki-laki). Ukiran tersebut dimaksudkan agar leluhur memberikan perlindungan kepada masyarakat di kampung tersebut.


Bersama Penari Pria Suku Kamoro
Bersama Penari Wanita Suku Kamoro
17 Desember 2010, seharusnya aku dan tim peneliti dijadwalkan pulang ke Surabaya pada siang hari ini. Namun penerbangan kami harus tertunda dikarenakan masalah teknis pesawat. Di Provinsi Papua, akses transportasi dan jaringan IT masih tergolong susah. Sehingga kami tidak memiliki pilihan selain menunggu. Kebetulan pada saat itu ada acara peresmian sebuah koperasi yang dihadiri oleh Bupati Mimika. Para penari Kamoro yang didatangkan langsung dari kampung Paumako memadati area parkir hotel dengan pakaian adat mereka. Tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, para pria sudah mengenakan celana pendek dengan dilapisi rumbai-rumbai jerami sebagai pengganti koteka. Tidak jauh berbeda dengan yang dikenakan penari wanita, mereka juga telah menutupi bagian dada. Para penari membawa dayung yang menggambarkan bahwa mereka hidup di pesisir sungai yang sehari-harinya sangat bergantung pada sungai, baik sebagai transportasi juga kebutuhan pangan keluarga.
Para penari pria yang sedari tadi bersembunyi dibalik semak-semak melempari kapur disertai sejenis tumbuhan air kearah mobil yang membawa pejabat daerah setempat tersebut. Namun ini hanyalah skenario penyambutan tanpa bermaksud membuat kericuhan. Para penari yang sudah berbaris rapi mulai bernyanyi dan menari (gerakan mendayung perahu) seketika bapak Bupati turun dari mobil dan berjalan memasuki area hotel. Acara ini banyak mengundang perhatian penghuni hotel dan juga masyarakat sekitar yang mayoritas adalah pendatang.


Dari perjalanan singkatku di Papua, aku senang sekali berkesempatan bertemu (hanya beberapa jam saja) dengan penduduk asli Kamoro, walaupun komunikasi kami sedikit terkendala dalam bahasa.

3 komentar:

  1. Yeah, Ni Luh on bloooggg! Welcome dear :)

    BalasHapus
  2. All: Dulu (Nov 2008) pnh ngeblog, tp lupa pass nya.. skrg merintis lagi.. ehehehe..

    msh cupu gan, Onegaizimashu.. :)

    BalasHapus